Asisten senior arsitek. Itu yang akan menjelaskan pekerjaan saya sekarang ini. Makna ‘arsitek’ yang saya pelajari selama kuliah itu berbeda makna dengan apa yang saya jalani sekarang. Mau tahu seperti apa ‘arsitek’ di mata mahasiswa arsitektur jurusan saya? Kalimat ini saya kutip dari status facebook junior saya: “enak ya jadi arsitek, dibayar untuk bermimpi”. Arsitek itu mendekati dewa sepertinya, punya daya kekuatan mewujudkan visi dan cita-cita. Selain itu, seolah-olah arsitek itu juga seniman.
Saya pertama kali bekerja di dunia profesional adalah tepat di awal tahun 2010. Di hari kerja pertama 2010. 4 Januari 2010, saya masih ingat. Waktu itu saya masuk di kantor saya sebagai mahasiswa magang selama 3 bulan. Saya waktu itu sadar diri, saya ini super entry level (jadi ini levelnya dibawah entry level, karena saya belum lulus sarjana). Jadi, saya mau dikasih pekerjaan apapun saya terima saja. Hal yang paling sepele yang pernah saya ingat adalah mendesain toilet. Toilet 3 cubicle saja. Saya selalu berkeyakinan pengertian akan hal besar dimulai dari hal kecil.
Sekarang saya sudah berstatus karyawan di kantor saya sekarang. Pada kartu nama saya, dibawah nama saya tertera ‘arsitek’. Yah, cukup keren dibaca: a-r-s-i-t-e-k. Lambat laun beban kerja yang saya terima perlahan juga mulai bertambah. Apalagi, proyek yang saya kerjakan sekarang benar-benar dibangun! Sedikit flashback, alasan saya mau berkarir di kantor ini selepas lulus kuliah, karena kantor ini menangani proyek-proyek berskala cukup besar. Kebanyakan apartemen dan kantor. Proyek yang saya tangani sekarang adalah 3 menara perkantoran di jalan tb simatupang. Jadi, ternyata keinginan ‘konyol’ saya terwujud: saya punya proyek yang bisa ‘kelihatan’. Hahahaha. Setidaknya, saya merasa sudah menghasilkan sesuatu, dan ketika dimanfaatkan oleh banyak orang itu menjadi nilai lebih untuk saya pribadi.
Arsitek memang pemimpi. Tapi, di bawah bimbingan (saya memilih kata ini karena bos saya akan menjawab semua pertanyaan saya) atasan saya, pekerjaan desain bukan lagi pekerjaan mengawang-awang. Pengalamannya membuatnya mengerti hal-hal teknis dalam mendesain lebih dari hampir semua arsitek yang ada di kantor. Hal-hal teknis itu, ehm, menurut saya, membosankan. Batasan desain menjadi banyak sekali, rasanya ruang kreativitas sangat terbatasi. Tantangan pada desain skala besar adalah uang dan permintaan saleable area semaksimal mungkin (kadang, bukan seoptimum mungkin dan ini juga berujung pada uang). Uang menentukan hampir segalanya. Itu alasan kenapa desain arsitektur dibuat moduler. Modulnya pun sebisa mungkin seminim mungkin variasinya. Di tempat saya bekerja, hampir semua desain ditentukan oleh uang kemudian kemampuan kontraktor lokal untuk mewujudkan detail desain. Yah, kontraktor disini tidak sehebat itu membuat bentuk-bentuk ajaib. Jangankan ajaib, seringkali malah tidak rapih.
Arsitek di dalam industri itu sepertinya lebih cocok disebut desainer. Arsitek di dalam industri harus mengikuti jadwal yang seringkali sangat padat. Buat saya sendiri, beberapa kali klien, atau konsultan marketing, ME, dan struktur mengkoreksi atau mengingatkan kami yang menyebut diri kami arsitek tentang desain atau kondisi site itu sendiri. Arsitek bukanlah dewa, karena semuanya menjadi setara. Mungkin disini arsitek sebenarnya adalah klien, atau mungkin project manager? Mewujudkan sebuah kantor 28 lantai itu bukan pekerjaan sehari semalam. Hal ini adalah pekerjaan yang panjang. Ternyata pekerjaan konsultan-konsultan itu pun tidak akan pernah habis sepertinya. Beda klien, beda lokasi saja itu bisa menjadikan pendekatan desain yang berbeda. Luar biasa.
Hal ini mungkin berbeda pada proyek rumah yang skalanya lebih kecil. Arsitek mungkin akan paham hampir semua seluk beluk desain sampai rumah tersebut terbangun. Arsitek tidak perlu menghadapi banyak konsultan. Selama komunikasi dengan klien dan tukang lancar, semuanya akan berjalan dengan lancar. itu teorinya. Kenyataannya teman-teman saya tidak begitu. Memang ada klien nyaman diajak bekerja, karena mereka menghargai pekerjaan arsitek. Tapi, ada juga klien yang menganggap arsitek itu juru gambar dan tidak perlu dibayar mahal. Bahkan, ada salah seorang klien teman saya yang kaget kalau ternyata ada aturan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang mengatur berapa hasil yang diterima arsitek dari nilai proyeknya.
Saya seorang amatir kembali bertanya kepada diri saya. Arsitek itu apa? Siapa itu Le Corbusier? Siapa itu Slamet Wirasonjaya? Siapa itu Rem Koolhas? Siapa itu Soekarno? Arsitek memang sudah mengalami pergeseran makna, menyempit dan meluas. Dia bisa jadi seorang visioner handal tapi juga sekaligus seorang desainer yang paham tentang hal-hal kecil yang mampu membuat semuanya terwujud. Menjadi yang mana? Mungkin kita memilih, atau mungkin sudah bawaan lahir, atau cuma sekedar mencari solusi terbaik. Arsitek itu apa?
Arsitek di dalam industri memang sepertinya tak lebih dari sekedar desainer, tukang gambar, tukang dekor. Arsitek mewujudkan lingkungan binaan. Arsitek mewujudkan tempat ANDA hidup. Apa jadinya kalau arsitek itu tidak peka terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak? Nilai-nilai kemanusiaan? Tatanan masyarakat? Atau, cita-cita untuk negeri ini di masa depan? Karena, kalau mengutip Winston Churchill (1943): “First we shape our buildings, then buildings shape us”.
Saya pertama kali bekerja di dunia profesional adalah tepat di awal tahun 2010. Di hari kerja pertama 2010. 4 Januari 2010, saya masih ingat. Waktu itu saya masuk di kantor saya sebagai mahasiswa magang selama 3 bulan. Saya waktu itu sadar diri, saya ini super entry level (jadi ini levelnya dibawah entry level, karena saya belum lulus sarjana). Jadi, saya mau dikasih pekerjaan apapun saya terima saja. Hal yang paling sepele yang pernah saya ingat adalah mendesain toilet. Toilet 3 cubicle saja. Saya selalu berkeyakinan pengertian akan hal besar dimulai dari hal kecil.
Sekarang saya sudah berstatus karyawan di kantor saya sekarang. Pada kartu nama saya, dibawah nama saya tertera ‘arsitek’. Yah, cukup keren dibaca: a-r-s-i-t-e-k. Lambat laun beban kerja yang saya terima perlahan juga mulai bertambah. Apalagi, proyek yang saya kerjakan sekarang benar-benar dibangun! Sedikit flashback, alasan saya mau berkarir di kantor ini selepas lulus kuliah, karena kantor ini menangani proyek-proyek berskala cukup besar. Kebanyakan apartemen dan kantor. Proyek yang saya tangani sekarang adalah 3 menara perkantoran di jalan tb simatupang. Jadi, ternyata keinginan ‘konyol’ saya terwujud: saya punya proyek yang bisa ‘kelihatan’. Hahahaha. Setidaknya, saya merasa sudah menghasilkan sesuatu, dan ketika dimanfaatkan oleh banyak orang itu menjadi nilai lebih untuk saya pribadi.
Arsitek memang pemimpi. Tapi, di bawah bimbingan (saya memilih kata ini karena bos saya akan menjawab semua pertanyaan saya) atasan saya, pekerjaan desain bukan lagi pekerjaan mengawang-awang. Pengalamannya membuatnya mengerti hal-hal teknis dalam mendesain lebih dari hampir semua arsitek yang ada di kantor. Hal-hal teknis itu, ehm, menurut saya, membosankan. Batasan desain menjadi banyak sekali, rasanya ruang kreativitas sangat terbatasi. Tantangan pada desain skala besar adalah uang dan permintaan saleable area semaksimal mungkin (kadang, bukan seoptimum mungkin dan ini juga berujung pada uang). Uang menentukan hampir segalanya. Itu alasan kenapa desain arsitektur dibuat moduler. Modulnya pun sebisa mungkin seminim mungkin variasinya. Di tempat saya bekerja, hampir semua desain ditentukan oleh uang kemudian kemampuan kontraktor lokal untuk mewujudkan detail desain. Yah, kontraktor disini tidak sehebat itu membuat bentuk-bentuk ajaib. Jangankan ajaib, seringkali malah tidak rapih.
Arsitek di dalam industri itu sepertinya lebih cocok disebut desainer. Arsitek di dalam industri harus mengikuti jadwal yang seringkali sangat padat. Buat saya sendiri, beberapa kali klien, atau konsultan marketing, ME, dan struktur mengkoreksi atau mengingatkan kami yang menyebut diri kami arsitek tentang desain atau kondisi site itu sendiri. Arsitek bukanlah dewa, karena semuanya menjadi setara. Mungkin disini arsitek sebenarnya adalah klien, atau mungkin project manager? Mewujudkan sebuah kantor 28 lantai itu bukan pekerjaan sehari semalam. Hal ini adalah pekerjaan yang panjang. Ternyata pekerjaan konsultan-konsultan itu pun tidak akan pernah habis sepertinya. Beda klien, beda lokasi saja itu bisa menjadikan pendekatan desain yang berbeda. Luar biasa.
Hal ini mungkin berbeda pada proyek rumah yang skalanya lebih kecil. Arsitek mungkin akan paham hampir semua seluk beluk desain sampai rumah tersebut terbangun. Arsitek tidak perlu menghadapi banyak konsultan. Selama komunikasi dengan klien dan tukang lancar, semuanya akan berjalan dengan lancar. itu teorinya. Kenyataannya teman-teman saya tidak begitu. Memang ada klien nyaman diajak bekerja, karena mereka menghargai pekerjaan arsitek. Tapi, ada juga klien yang menganggap arsitek itu juru gambar dan tidak perlu dibayar mahal. Bahkan, ada salah seorang klien teman saya yang kaget kalau ternyata ada aturan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang mengatur berapa hasil yang diterima arsitek dari nilai proyeknya.
Saya seorang amatir kembali bertanya kepada diri saya. Arsitek itu apa? Siapa itu Le Corbusier? Siapa itu Slamet Wirasonjaya? Siapa itu Rem Koolhas? Siapa itu Soekarno? Arsitek memang sudah mengalami pergeseran makna, menyempit dan meluas. Dia bisa jadi seorang visioner handal tapi juga sekaligus seorang desainer yang paham tentang hal-hal kecil yang mampu membuat semuanya terwujud. Menjadi yang mana? Mungkin kita memilih, atau mungkin sudah bawaan lahir, atau cuma sekedar mencari solusi terbaik. Arsitek itu apa?
Arsitek di dalam industri memang sepertinya tak lebih dari sekedar desainer, tukang gambar, tukang dekor. Arsitek mewujudkan lingkungan binaan. Arsitek mewujudkan tempat ANDA hidup. Apa jadinya kalau arsitek itu tidak peka terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak? Nilai-nilai kemanusiaan? Tatanan masyarakat? Atau, cita-cita untuk negeri ini di masa depan? Karena, kalau mengutip Winston Churchill (1943): “First we shape our buildings, then buildings shape us”.
Komentar
Posting Komentar