Seminggu setelah backpacking.
(11 Mei 2011, 23:42)
Kembali ke kehidupan normal dan rasanya seperti masuk di fase baru. Banyak yang saya pikirkan selama dan sekembalinya dari perjalanan dua minggu di india. Awalnya saya lega sekali berada di rumah. Tapi, entah kenapa rasanya ingin kembali bepergian. Let things go, getting lost somewhere. Ada beberapa hal yang saya sadari tentang apa yang saya jalani sebelum saya ke india dan saya juga berpikir bagaimana memperbaiki apa yang kurang. Yah, intinya perjalanan ini tentang diri saya dan sepertinya saya ingin kembali bepergian. Rasanya ada yang masih belum tuntas. Perasaan belum tuntas ini sebenarnya saya tidak tahu apakah benar-benar kurang lama atau saya hanya senang perasaan bebas. Saya juga tidak tahu saya harus bepergian berapa lama lagi sampai saya puas. Saya sudah bolos kantor 2 minggu lebih. Hahaha.
Saya senang sekali perasaan bebas ketika bepergian jauh.
Saya tidak menyangka bisa sampai di negeri india. India itu di dalam angan-angan saya adalah negeri yang eksotis, negeri para raja, penuh warna dan detail, rasanya semuanya begitu khas. Toh, meski kenyataannya tidak seperti itu saya tetap mengikuti naluri impulsif saya untuk membeli tiket ke india. Buat saya, india tidak membuat saya merasa makhluk yang datang dari planet lain. Alamnya mirip, tapi iklimnya terasa lebih panas. Panas sekali. Sampai-sampai berteduh di bawah bayangan matahari pun masih terasa panas. Air juga tidak cukup menghilangkan haus. Rahasianya cuma ada dua: soda dan limun. Paling pas diminum dingin dan ketika matahari sedang panas-panasnya. Mungkin itu alasan kenapa tiket saya bisa murah. April adalah awal summer, dan summer sepertinya bukan musim favorit untuk berkunjung kesana.
New delhi, Agra, Chandigarh, Varanasi, Jaipur. Itinerary dua minggu untuk 5 kota ini. India ini kumuh, jorok, bau, menyengat, ramai, penuh, sebutkan saja semuanya. Sampai sekarang, saya masih belum kata-kata yang pas untuk menggambarkan seperti apa itu india. Satu kata yang pasti: vibrant. Kosa kata bahasa inggris ini menggambarkan semua kota yang saya datangi kecuali Chandigarh. Cari saja sudut kota yang sepi. Setiap sudut kota tidak akan menjadi pojokan sisa. Minimal, pojokan itu bisa menjadi toilet gratis. Jangan heran, kalau mencium bau di persimpangan jalan atau dibalik pohon. Buat saya, vibrant juga menggambarkan cita rasa negeri ini. Cicipi saja masakan india yang dimasak oleh orang india di india. Sepertinya semua bumbu jadi satu dan tanpa segan membakar sampai kerongkongan. Di Jaipur, saya sempat ingin menangis ketika menghabiskan setengah porsi nasi biryani. Yap. Hanya setengah porsi saja, karena porsi mereka besar sekali. Kira-kira dua tiga kali porsi makan kita.
India tidak akan menjadi tempat favorit untuk mereka yang tidak menyukai keramaian. India bukanlah ramai. Semrawut, penuh, sesak, dan berisik. Secara statistik, jumlah penduduk india memang sangat besar. Dengan luasan seantero india yang bisa ditinggali, cukup untuk membuat penduduknya tinggal berdesak-desakan. Ketika berada disana, semua ini adalah whole mess, chaotic. Yes, i was part of chaos. No, maybe i’m one of the chaos. Everybody is the chaos itself. Saya teringat ayah saya, dia bukan penyuka keramaian. Mungkin dia akan alergi dengan suasana seperti ini. Tapi, kali ini saya mencoba menikmati ambil bagian dalam kekacauan ini.
Orang india bukanlah orang-orang yang pemarah dengan fakta kemampuan mereka bertahan hidup di perkotaan sangat luar biasa. Setelah saya amati, sepertinya tidak ada mobil yang mulus di India. Penyok, pecah, dan goresan yang cukup besar itu biasa menghiasi mobil-mobil orang disana. City car sepertinya pilihan favorit orang india karena harganya murah. Tapi, coba perhatikan jumlah penumpangnya. Bisa jadi mobil-mobil city car itu diisi sampai satu keluarga besar bisa masuk. Ayah, ibu, anak-anak, tante, om, sampai kakek, nenek. Tersenggol mobil ketika jalan? (Catatan: seringkali mobil tidak bisa melaju kencang karena disekelilingnya ramai dengan orang-orang dan sapi yang lalu lalang) Itu biasa. Pengemudi mobil lambaikan saja tangan sebagai tanda maaf dan pelototan mata si pejalan kaki pun akan mereda. Terjadi tabrakan? Sabu, seorang supir bajaj di agra berkata, “in india, accident happens everyday.”
Saya adalah traveller, tanpa agenda spesifik, biarkan saja semuanya mengalir, dan lihat apa yang terjadi. Membiarkan diri saya di dalam kekacauan itu tidak apa-apa. Toh, kondisi kacau itu kita hadapi sehari-hari kan? Varanasi adalah tempat yang menakjubkan untuk segala kekacauan ini. Ini adalah bagian favorit saya ketika bepergian, melihat apa yang terjadi setelah ikut masuk ke dalamnya. Saya tidak mengharapkan kejutan yang spesifik, tapi biasanya membuat saya menemukan sesuatu. Tanpa ekspektasi apa-apa, tanpa perlu takut atau gusar ternyata membuat saya berada dalam sanctuary diri saya sendiri. Selama pikiran dan hati tidak terpengaruh semuanya akan baik-baik saja. Yah, setidaknya saya dan teman saya bisa menemukan jalan kembali ke hostel setelah dari sungai gangga di malam hari melewati gang-gang labirin.
(11 Mei 2011, 23:42)
Kembali ke kehidupan normal dan rasanya seperti masuk di fase baru. Banyak yang saya pikirkan selama dan sekembalinya dari perjalanan dua minggu di india. Awalnya saya lega sekali berada di rumah. Tapi, entah kenapa rasanya ingin kembali bepergian. Let things go, getting lost somewhere. Ada beberapa hal yang saya sadari tentang apa yang saya jalani sebelum saya ke india dan saya juga berpikir bagaimana memperbaiki apa yang kurang. Yah, intinya perjalanan ini tentang diri saya dan sepertinya saya ingin kembali bepergian. Rasanya ada yang masih belum tuntas. Perasaan belum tuntas ini sebenarnya saya tidak tahu apakah benar-benar kurang lama atau saya hanya senang perasaan bebas. Saya juga tidak tahu saya harus bepergian berapa lama lagi sampai saya puas. Saya sudah bolos kantor 2 minggu lebih. Hahaha.
Saya senang sekali perasaan bebas ketika bepergian jauh.
Saya tidak menyangka bisa sampai di negeri india. India itu di dalam angan-angan saya adalah negeri yang eksotis, negeri para raja, penuh warna dan detail, rasanya semuanya begitu khas. Toh, meski kenyataannya tidak seperti itu saya tetap mengikuti naluri impulsif saya untuk membeli tiket ke india. Buat saya, india tidak membuat saya merasa makhluk yang datang dari planet lain. Alamnya mirip, tapi iklimnya terasa lebih panas. Panas sekali. Sampai-sampai berteduh di bawah bayangan matahari pun masih terasa panas. Air juga tidak cukup menghilangkan haus. Rahasianya cuma ada dua: soda dan limun. Paling pas diminum dingin dan ketika matahari sedang panas-panasnya. Mungkin itu alasan kenapa tiket saya bisa murah. April adalah awal summer, dan summer sepertinya bukan musim favorit untuk berkunjung kesana.
New delhi, Agra, Chandigarh, Varanasi, Jaipur. Itinerary dua minggu untuk 5 kota ini. India ini kumuh, jorok, bau, menyengat, ramai, penuh, sebutkan saja semuanya. Sampai sekarang, saya masih belum kata-kata yang pas untuk menggambarkan seperti apa itu india. Satu kata yang pasti: vibrant. Kosa kata bahasa inggris ini menggambarkan semua kota yang saya datangi kecuali Chandigarh. Cari saja sudut kota yang sepi. Setiap sudut kota tidak akan menjadi pojokan sisa. Minimal, pojokan itu bisa menjadi toilet gratis. Jangan heran, kalau mencium bau di persimpangan jalan atau dibalik pohon. Buat saya, vibrant juga menggambarkan cita rasa negeri ini. Cicipi saja masakan india yang dimasak oleh orang india di india. Sepertinya semua bumbu jadi satu dan tanpa segan membakar sampai kerongkongan. Di Jaipur, saya sempat ingin menangis ketika menghabiskan setengah porsi nasi biryani. Yap. Hanya setengah porsi saja, karena porsi mereka besar sekali. Kira-kira dua tiga kali porsi makan kita.
India tidak akan menjadi tempat favorit untuk mereka yang tidak menyukai keramaian. India bukanlah ramai. Semrawut, penuh, sesak, dan berisik. Secara statistik, jumlah penduduk india memang sangat besar. Dengan luasan seantero india yang bisa ditinggali, cukup untuk membuat penduduknya tinggal berdesak-desakan. Ketika berada disana, semua ini adalah whole mess, chaotic. Yes, i was part of chaos. No, maybe i’m one of the chaos. Everybody is the chaos itself. Saya teringat ayah saya, dia bukan penyuka keramaian. Mungkin dia akan alergi dengan suasana seperti ini. Tapi, kali ini saya mencoba menikmati ambil bagian dalam kekacauan ini.
Orang india bukanlah orang-orang yang pemarah dengan fakta kemampuan mereka bertahan hidup di perkotaan sangat luar biasa. Setelah saya amati, sepertinya tidak ada mobil yang mulus di India. Penyok, pecah, dan goresan yang cukup besar itu biasa menghiasi mobil-mobil orang disana. City car sepertinya pilihan favorit orang india karena harganya murah. Tapi, coba perhatikan jumlah penumpangnya. Bisa jadi mobil-mobil city car itu diisi sampai satu keluarga besar bisa masuk. Ayah, ibu, anak-anak, tante, om, sampai kakek, nenek. Tersenggol mobil ketika jalan? (Catatan: seringkali mobil tidak bisa melaju kencang karena disekelilingnya ramai dengan orang-orang dan sapi yang lalu lalang) Itu biasa. Pengemudi mobil lambaikan saja tangan sebagai tanda maaf dan pelototan mata si pejalan kaki pun akan mereda. Terjadi tabrakan? Sabu, seorang supir bajaj di agra berkata, “in india, accident happens everyday.”
Saya adalah traveller, tanpa agenda spesifik, biarkan saja semuanya mengalir, dan lihat apa yang terjadi. Membiarkan diri saya di dalam kekacauan itu tidak apa-apa. Toh, kondisi kacau itu kita hadapi sehari-hari kan? Varanasi adalah tempat yang menakjubkan untuk segala kekacauan ini. Ini adalah bagian favorit saya ketika bepergian, melihat apa yang terjadi setelah ikut masuk ke dalamnya. Saya tidak mengharapkan kejutan yang spesifik, tapi biasanya membuat saya menemukan sesuatu. Tanpa ekspektasi apa-apa, tanpa perlu takut atau gusar ternyata membuat saya berada dalam sanctuary diri saya sendiri. Selama pikiran dan hati tidak terpengaruh semuanya akan baik-baik saja. Yah, setidaknya saya dan teman saya bisa menemukan jalan kembali ke hostel setelah dari sungai gangga di malam hari melewati gang-gang labirin.
Komentar
Posting Komentar