Kadang kalau kita sudah terlalu muak kepada orang lain, akan lebih mudah untuk bersikap tidak peduli dan jalani saja hidup masing-masing. Hal itu akan sangat mudah sekali, atau paling jahat "nggak dianggep temen". Dengan bersikap tidak peduli sepertinya akan lebih mudah. Tidak perlu ngomongin lagi orang itu, karena memang sudah begitu adanya. Sehingga tidak perlu lagi berharap banyak.
Tapi, bagaimana kalau orang tersebut orang yang sangat dekat dengan kita? Bersikap tidak peduli sepertinya malah memperburuk keadaan. Hal itu, saya tahu bukan hal yang menyenangkan dan keadaan serba salah. Orang itu adalah orang yang sudah berjuang hampir mati demi saya, tapi orang itu juga orang yang seringkali membuat saya luar biasa jengkel dengan sikapnya sampai-sampai saya frustasi. Akan mudah kalau orang itu orang lain. Cuek, masalah selesai.
Saya sering bertanya-tanya pada Tuhan, saya mengerti kenapa Tuhan mengangkat menempatkan orang-orang seperti dia begitu tinggi. Dia adalah 3 nama yang disebut ketika Rasul ditanya kepada siapa perhormatan tertinggi harus diberikan di dunia. Saya mengakui sih, berjuang hampir mati itu bukan perkara sepele. Saya makin paham setelah mendengar cerita teman saya yang sudah pernah melewati masa itu. Luat biasa, tapi grrr. Lucunya, dalam keseharian dia paling ahli membuat orang kesal. Hal ini membuat saya merasa sedih, karena dia orang yang dekat dengan saya. Tapi, di satu sisi nilai-nilai mengajarkan seharusnya dia bisa lebih dari itu. Saya sudah sampai di titik paling pasrah. Menerima kenyataan bahwa buat saya pribadi, dia memamg seperti itu dan sepeetinya lebih baik kalau saya mengurangi irisan kehidupan saya, which is impossible. Tuhan, mauMu apa?
Saya tidak tahu saya kesamber apa. Tapi, kata-kata ini saya dapat dari drama radio "terus membuka kesempatan", tanpa henti. Cerita itu juga tidak jauh-jauh tentang orang-orang yang dekat dengan kita. Mau saya kesal sampai ubun-ubun, toh dari dulu saya sudah menerima kalau dia orangnya seperti itu. Tapi, mungkin keikhlasan itu urusan lain. Mungkin kita bukan dua manusia yang cocok karakternya, dan sepertinya tidak ada yang perlu disalahkan tentang itu. Toh, manusia dilahirkan berbeda-beda. Tapi, satu yang saya sadari, menyayangi itu bukan masalah hitung-hitungan tukar tambah, apalagi barter, bukan pula perkara hak dan kewajiban. Setiap manusia punya perannya masing-masing kan? Dan setiap peran punya nature-nya sendiri. Kalau memang sayang, lakukan saja hal-hal baik dan ikhlaskan saja. Tapi, tetap saja saya gak bisa boong dengan berhasil memperjuangkan saya dulu, sepertinya worth it baginya untuk mendapatkan kesempatan berkali-kali, setiap hari. Hahahaha, kontradiktif! Tapi, mungkin ini sudah jadi nature saya dengan dia yang seperti itu.
Haha. And so, i'm giving chances. Siapa tau, diam-diam ini dia sudah mencoba yang terbaik.
Tapi, bagaimana kalau orang tersebut orang yang sangat dekat dengan kita? Bersikap tidak peduli sepertinya malah memperburuk keadaan. Hal itu, saya tahu bukan hal yang menyenangkan dan keadaan serba salah. Orang itu adalah orang yang sudah berjuang hampir mati demi saya, tapi orang itu juga orang yang seringkali membuat saya luar biasa jengkel dengan sikapnya sampai-sampai saya frustasi. Akan mudah kalau orang itu orang lain. Cuek, masalah selesai.
Saya sering bertanya-tanya pada Tuhan, saya mengerti kenapa Tuhan mengangkat menempatkan orang-orang seperti dia begitu tinggi. Dia adalah 3 nama yang disebut ketika Rasul ditanya kepada siapa perhormatan tertinggi harus diberikan di dunia. Saya mengakui sih, berjuang hampir mati itu bukan perkara sepele. Saya makin paham setelah mendengar cerita teman saya yang sudah pernah melewati masa itu. Luat biasa, tapi grrr. Lucunya, dalam keseharian dia paling ahli membuat orang kesal. Hal ini membuat saya merasa sedih, karena dia orang yang dekat dengan saya. Tapi, di satu sisi nilai-nilai mengajarkan seharusnya dia bisa lebih dari itu. Saya sudah sampai di titik paling pasrah. Menerima kenyataan bahwa buat saya pribadi, dia memamg seperti itu dan sepeetinya lebih baik kalau saya mengurangi irisan kehidupan saya, which is impossible. Tuhan, mauMu apa?
Saya tidak tahu saya kesamber apa. Tapi, kata-kata ini saya dapat dari drama radio "terus membuka kesempatan", tanpa henti. Cerita itu juga tidak jauh-jauh tentang orang-orang yang dekat dengan kita. Mau saya kesal sampai ubun-ubun, toh dari dulu saya sudah menerima kalau dia orangnya seperti itu. Tapi, mungkin keikhlasan itu urusan lain. Mungkin kita bukan dua manusia yang cocok karakternya, dan sepertinya tidak ada yang perlu disalahkan tentang itu. Toh, manusia dilahirkan berbeda-beda. Tapi, satu yang saya sadari, menyayangi itu bukan masalah hitung-hitungan tukar tambah, apalagi barter, bukan pula perkara hak dan kewajiban. Setiap manusia punya perannya masing-masing kan? Dan setiap peran punya nature-nya sendiri. Kalau memang sayang, lakukan saja hal-hal baik dan ikhlaskan saja. Tapi, tetap saja saya gak bisa boong dengan berhasil memperjuangkan saya dulu, sepertinya worth it baginya untuk mendapatkan kesempatan berkali-kali, setiap hari. Hahahaha, kontradiktif! Tapi, mungkin ini sudah jadi nature saya dengan dia yang seperti itu.
Haha. And so, i'm giving chances. Siapa tau, diam-diam ini dia sudah mencoba yang terbaik.
Komentar
Posting Komentar