Terima kasih.
Itu jawaban yang terpikir saat saya membaca tweet yang bertanya hal apa yang akan kamu katakan kalau kamu bertemu Tuhan sekarang. Kalau memang yang saya ucapkan lewat kata-kata cuma itu yang ingin saya sampaikan. Saya akui ada hal-hal lain yang saya pikirkan, seperti doa atau keinginan. Tapi, ah, saya pinggirkan sejenak hal-hal itu. Yang utama saya cuma mau berterima kasih.
Sejenak tentang hari ini. Hari ini saya sakit. Di hari ke-3 menstruasi saya dan sepertinya masuk angin kelas berat. KLOP. Sakit perut, nyeri sekujur tubuh, lemas, tadi sempat mau pingsan. Dimana? Di kantor. Duh, ini malu-maluin sebenarnya. Tapi, saya tersentuh dengan kebaikan orang-orang di kantor saya. Mbak sekretaris yang memijat dan mengeroki saya. Mas bos yang sempat memapah saya yang hampir mau pingsan untuk duduk selonjoran, dan meminjamkan jaket untuk kaki saya. Jaka melani yang membantu membawa barang saya turun. Melissa si lempeng membuatkan teh panas. Winer dengan ransum super lengkapnya. Aya epen yang menemani dan membawakan tas sampai ke mobil.
Saya memang melankolis. Hahaha. Tapi, saya bersyukur sekali. :)
Sampai di rumah, saya dipijat, dikerokin, makan sereal, tidur, lalu terbangun lagi. Sejak maghrib hingga kini, jam 12 lewat saya masih belum bisa tidur. Album Olivia Ong sudah diputar untuk ketiga kalinya. Saya jadi mereview balik jawaban pertanyaan tadi.
Saya sadar ada beberapa hal yang belum saya temukan solusinya, atau setidaknya jawaban. Sekolah pasca sarjana, pilihan masa depan, dan berkeluarga, serta mencari titik equilibrium dari hal-hal yang masih misteri buat saya.
Hari ini saya sedikit berbagi dengan meilani tentang sekolah lagi. Saya coba ingat-ingat lagi kenapa saya mau sekolah lagi. Selain untuk bisa jadi dosen nantinya, saya ingin sekolah itu menjadi medium bagi diri saya untuk mengevaluasi apa yang telah saya kerjakan selama ini, dan memberikan input untuk apa yang saya kerjakan di masa depan. Hmmm. Sedikit dilema, karena sepertinya saya seperti belum benar-benar paham apa yang saya cari. Kini, saya seperti dihadapkan dengan situasi:
1. Sekolah secepatnya karena sebentar lagi saya akan menikah. Entah kenapa sekolah lagi ketika belum menikah itu membebaskan dari beberapa isu, karena faktor individu yang saya utamakan adalah diri saya. Tapi, kalau berpikir seperti ini sekolah lagi terasa seperti kejar setoran umur.
2. Kenapa tidak sekolah nanti saja? Kalau memang tujuannya adalah evaluasi, pengalaman 2-3 tahun mungkin tidak cukup. Tapi, kondisi saya 5< tahun nanti sudah tidak sama. Mungkin saya sudah memiliki tanggung jawab lebih yang harus saya pertimbangkan.
Ada sesuatu yang saya sadari, saya ternyata sempat ragu untuk kembali berkompetisi untuk beasiswa. Tapi, saya tidak boleh kalah sebelum perang! Come on heart, be brave, be strong. Saya tidak bisa bergantung pada orang lain. Saya butuh refreshment. Saya pasti bisa. Oh, Tuhan kuatkan hati saya ini.
Untuk kamu yang terpisah 700 km. Bohong kalau aku bilang aku tidak memikirkan kamu seharian ini. Aku membaca pesan balasanmu semalam kemarin berkali-kali. Untuk apa yang aku pikirkan tentang masa depan, kamu jadi concern aku yang sangat besar. Ketika aku lemas tak berdaya tadi siang aku sengaja untuk tidak mengeluh kepadamu di jam kerjamu. Ketika aku kembali tak bisa tidur malam ini, aku ingin sekali ada di dekatmu. Tapi, karena di telepon terakhir kamu menyuruhku tidur cepat aku jadi urungkan niat untuk menghubungimu. Kamu yang selalu bilang hidup itu kompromi. Aku tak mau jadi bebanmu karena aku belum sempurna bisa mengkompromikan diriku dan apa yang ingin kucapai.
*oke, ini sudah putaran ke-4 album olivia ong*
Aku tak bisa tidur. Apa yang kira-kira mengganjal?? Hey aku, jadilah... (bahkan tak kutemukan kosa kata yang pas)
Itu jawaban yang terpikir saat saya membaca tweet yang bertanya hal apa yang akan kamu katakan kalau kamu bertemu Tuhan sekarang. Kalau memang yang saya ucapkan lewat kata-kata cuma itu yang ingin saya sampaikan. Saya akui ada hal-hal lain yang saya pikirkan, seperti doa atau keinginan. Tapi, ah, saya pinggirkan sejenak hal-hal itu. Yang utama saya cuma mau berterima kasih.
Sejenak tentang hari ini. Hari ini saya sakit. Di hari ke-3 menstruasi saya dan sepertinya masuk angin kelas berat. KLOP. Sakit perut, nyeri sekujur tubuh, lemas, tadi sempat mau pingsan. Dimana? Di kantor. Duh, ini malu-maluin sebenarnya. Tapi, saya tersentuh dengan kebaikan orang-orang di kantor saya. Mbak sekretaris yang memijat dan mengeroki saya. Mas bos yang sempat memapah saya yang hampir mau pingsan untuk duduk selonjoran, dan meminjamkan jaket untuk kaki saya. Jaka melani yang membantu membawa barang saya turun. Melissa si lempeng membuatkan teh panas. Winer dengan ransum super lengkapnya. Aya epen yang menemani dan membawakan tas sampai ke mobil.
Saya memang melankolis. Hahaha. Tapi, saya bersyukur sekali. :)
Sampai di rumah, saya dipijat, dikerokin, makan sereal, tidur, lalu terbangun lagi. Sejak maghrib hingga kini, jam 12 lewat saya masih belum bisa tidur. Album Olivia Ong sudah diputar untuk ketiga kalinya. Saya jadi mereview balik jawaban pertanyaan tadi.
Saya sadar ada beberapa hal yang belum saya temukan solusinya, atau setidaknya jawaban. Sekolah pasca sarjana, pilihan masa depan, dan berkeluarga, serta mencari titik equilibrium dari hal-hal yang masih misteri buat saya.
Hari ini saya sedikit berbagi dengan meilani tentang sekolah lagi. Saya coba ingat-ingat lagi kenapa saya mau sekolah lagi. Selain untuk bisa jadi dosen nantinya, saya ingin sekolah itu menjadi medium bagi diri saya untuk mengevaluasi apa yang telah saya kerjakan selama ini, dan memberikan input untuk apa yang saya kerjakan di masa depan. Hmmm. Sedikit dilema, karena sepertinya saya seperti belum benar-benar paham apa yang saya cari. Kini, saya seperti dihadapkan dengan situasi:
1. Sekolah secepatnya karena sebentar lagi saya akan menikah. Entah kenapa sekolah lagi ketika belum menikah itu membebaskan dari beberapa isu, karena faktor individu yang saya utamakan adalah diri saya. Tapi, kalau berpikir seperti ini sekolah lagi terasa seperti kejar setoran umur.
2. Kenapa tidak sekolah nanti saja? Kalau memang tujuannya adalah evaluasi, pengalaman 2-3 tahun mungkin tidak cukup. Tapi, kondisi saya 5< tahun nanti sudah tidak sama. Mungkin saya sudah memiliki tanggung jawab lebih yang harus saya pertimbangkan.
Ada sesuatu yang saya sadari, saya ternyata sempat ragu untuk kembali berkompetisi untuk beasiswa. Tapi, saya tidak boleh kalah sebelum perang! Come on heart, be brave, be strong. Saya tidak bisa bergantung pada orang lain. Saya butuh refreshment. Saya pasti bisa. Oh, Tuhan kuatkan hati saya ini.
Untuk kamu yang terpisah 700 km. Bohong kalau aku bilang aku tidak memikirkan kamu seharian ini. Aku membaca pesan balasanmu semalam kemarin berkali-kali. Untuk apa yang aku pikirkan tentang masa depan, kamu jadi concern aku yang sangat besar. Ketika aku lemas tak berdaya tadi siang aku sengaja untuk tidak mengeluh kepadamu di jam kerjamu. Ketika aku kembali tak bisa tidur malam ini, aku ingin sekali ada di dekatmu. Tapi, karena di telepon terakhir kamu menyuruhku tidur cepat aku jadi urungkan niat untuk menghubungimu. Kamu yang selalu bilang hidup itu kompromi. Aku tak mau jadi bebanmu karena aku belum sempurna bisa mengkompromikan diriku dan apa yang ingin kucapai.
*oke, ini sudah putaran ke-4 album olivia ong*
Aku tak bisa tidur. Apa yang kira-kira mengganjal?? Hey aku, jadilah... (bahkan tak kutemukan kosa kata yang pas)
Komentar
Posting Komentar