Rasanya saya sudah lupa kalau indonesia itu (aslinya) negeri agraris dan negeri maritim. Gunung meletus itu berkah, yang bisa bikin negeri kita subur bisa ditanami apa saja. Laut itu harta karun, volume air yang melimpah dan isinya pun kaya. Tanah vulkanik itu sahabat para petani, sedangkan gelombang sahabat para nelayan.
Semua berita menyebutkan bahwa gunung meletus, gempa, dan tsunami itu adalah bencana. Lupakah kita dengan aslinya kita??? Hey?? Tanah kita bisa subur karena muntahan gunung meletus. Laut kita itu sekitar 70% dari luas total negeri kita. Negeri kita ada di jalur pertemuan lempeng bumi. Mungkin seharusnya kita tidak perlu kaget dengan gempa, gunung meletus, dan tsunami. Itu kan 'hal biasa', jadi wajar terjadi sewaktu-waktu.
Mungkin kita kurang mendengarkan alam, mungkin kita tak pernah mencoba bersahabat dengan alam. Seperti seorang teman yang sewaktu-waktu bisa kentut kapan saja. Apakah kita lantas marah dan menghujatnya karena dia bisa kentut di waktu tak terduga? Mungkin kita lupa, manusia itu butuh kentut. Kalau manusia tidak bisa kentut bisa bahaya. Kentut itu berkah. Belum lagi lagi pernyataan-pernyataan bahwa ini adalah hukuman dari Tuhan buat negeri para pendosa ini. Hey, para manusia yang merasa terhukum karena bisa kentut, sudahkah anda bersyukur kalau alam juga bisa kentut?
Memang wajar kalau penduduk terdekat yang terkena dampak alam yang sedang kentut. Tapi itu bukan alasan untuk tidak membantu dan menyepelekan yang sedang kesusahan. Yang paling penting lagi, bagaimana caranya supaya kita bisa lebih kenal dengan kebiasaan-kebiasaan alam negeri ini. Sistem peringatan secepat mungkin dan edukasi masyarakat tentang alam yang ditinggali.
Katanya dulu banyak sih kearifan lokal tentang bersahabat dengan alam. Kemana semua itu? Mungkin kita lupa atau malas menginterpretasi ulang semua itu. Ya sudahlah, itu romantisme masa lalu. Ternyata, kalimat "saya mengaku bertanah air indonesia" itu gak gampang sama sekali ya. Mengenali alam kita. Alam sahabat dan saudara kita.
Ada kalimat yang berkesan buat saya di koran tempo hari ini:
"Bangsa Indonesia sudah menempati wilayah ini ribuan tahun, dan dengan ketegaran akan tetap bertahan ribuan tahun lagi."
- Boediono, ketika menjeguk ke Merapi
Saya pribadi baru sekarang merasa kehilangan berita-berita baik dari pelosok. Tentang bagaimana para petani, nelayan berhasil berkompromi dengan alam. Hijaunya sawah dan ladang, atau kuning kalau sudah masuk masa panen, dan birunya laut sudah jarang sekali saya lihat di tivi. Saya lebih sering lihat muka-muka gak dikenal masuk infotainment, atau orang-orang yang disebut pejabat korupsi, dan tindak kriminal orang-orang yang sudah apatis. Saya sekarang sudah tidak terlalu suka dengan berita lokal. Terlalu banyak berita buruk. Kemana indonesia yang ketika saya masih sd digembor-gemborkan negara agraris? Negeri yang kaya raya alamnya? Aah, saya mau jalan-jalan keliling negeri ini. Saya hari ini jadi arsitek, apa yang bisa saya dengar hari ini, esok, dan nanti?
Saya lebih suka menyebut dengan kata "negeri" karena terasa lebih membumi, lepas dari segala hal yang berbau administratif dan politis pada kata "negara"
:')
Semua berita menyebutkan bahwa gunung meletus, gempa, dan tsunami itu adalah bencana. Lupakah kita dengan aslinya kita??? Hey?? Tanah kita bisa subur karena muntahan gunung meletus. Laut kita itu sekitar 70% dari luas total negeri kita. Negeri kita ada di jalur pertemuan lempeng bumi. Mungkin seharusnya kita tidak perlu kaget dengan gempa, gunung meletus, dan tsunami. Itu kan 'hal biasa', jadi wajar terjadi sewaktu-waktu.
Mungkin kita kurang mendengarkan alam, mungkin kita tak pernah mencoba bersahabat dengan alam. Seperti seorang teman yang sewaktu-waktu bisa kentut kapan saja. Apakah kita lantas marah dan menghujatnya karena dia bisa kentut di waktu tak terduga? Mungkin kita lupa, manusia itu butuh kentut. Kalau manusia tidak bisa kentut bisa bahaya. Kentut itu berkah. Belum lagi lagi pernyataan-pernyataan bahwa ini adalah hukuman dari Tuhan buat negeri para pendosa ini. Hey, para manusia yang merasa terhukum karena bisa kentut, sudahkah anda bersyukur kalau alam juga bisa kentut?
Memang wajar kalau penduduk terdekat yang terkena dampak alam yang sedang kentut. Tapi itu bukan alasan untuk tidak membantu dan menyepelekan yang sedang kesusahan. Yang paling penting lagi, bagaimana caranya supaya kita bisa lebih kenal dengan kebiasaan-kebiasaan alam negeri ini. Sistem peringatan secepat mungkin dan edukasi masyarakat tentang alam yang ditinggali.
Katanya dulu banyak sih kearifan lokal tentang bersahabat dengan alam. Kemana semua itu? Mungkin kita lupa atau malas menginterpretasi ulang semua itu. Ya sudahlah, itu romantisme masa lalu. Ternyata, kalimat "saya mengaku bertanah air indonesia" itu gak gampang sama sekali ya. Mengenali alam kita. Alam sahabat dan saudara kita.
Ada kalimat yang berkesan buat saya di koran tempo hari ini:
"Bangsa Indonesia sudah menempati wilayah ini ribuan tahun, dan dengan ketegaran akan tetap bertahan ribuan tahun lagi."
- Boediono, ketika menjeguk ke Merapi
Saya pribadi baru sekarang merasa kehilangan berita-berita baik dari pelosok. Tentang bagaimana para petani, nelayan berhasil berkompromi dengan alam. Hijaunya sawah dan ladang, atau kuning kalau sudah masuk masa panen, dan birunya laut sudah jarang sekali saya lihat di tivi. Saya lebih sering lihat muka-muka gak dikenal masuk infotainment, atau orang-orang yang disebut pejabat korupsi, dan tindak kriminal orang-orang yang sudah apatis. Saya sekarang sudah tidak terlalu suka dengan berita lokal. Terlalu banyak berita buruk. Kemana indonesia yang ketika saya masih sd digembor-gemborkan negara agraris? Negeri yang kaya raya alamnya? Aah, saya mau jalan-jalan keliling negeri ini. Saya hari ini jadi arsitek, apa yang bisa saya dengar hari ini, esok, dan nanti?
Saya lebih suka menyebut dengan kata "negeri" karena terasa lebih membumi, lepas dari segala hal yang berbau administratif dan politis pada kata "negara"
:')
Komentar
Posting Komentar