Langsung ke konten utama

catatan kaki

saya detik ini mungkin tahu perbedaan antara tersenyum dengan terpaksa atau bagaimana caranya tersenyum karena memang sedang gundah. tersenyum dengan terpaksa itu membohongi diri sendiri dan orang lain. saya pernah tersenyum supaya orang tidak mampu melihat kegundahan saya. saya memasang tameng, membentengi diri saya sendiri. tapi, ketika saya bisa tersenyum di kala gundah, mungkin saya telah menyerahkan segalanya. hal ini tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata. tapi saya pernah mengalaminya dan saya mengerti itu semua sekarang. karena saya sudah menerima semua ini setidaksuka apapun saya dengan keadaan saya. karena saya tidak terlalu menggenggam suatu apapun terlalu kuat. satu yang paling penting, saya sudah menyerahkan semuanya, termasuk diri saya dan saya merasa cukup dengan semua itu. tersenyum yang paling enak itu bukan karena ada alasan yang spesifik. tapi, senyum itu jendela diri saya yang paling dalam, bukan masalah saya sedang bahagia, sedih atau biasa saja. saya juga belajar supaya bisa tersenyum seperti ini. enak dan tanpa beban.

apa bedanya manusia dengan sejuta keinginan dan sejuta ego? sejuta keinginan adalah ketika saya punya sejuta mimpi, sejuta rencana, sejuta angan dan asa. sejuta ego hadir ketika saya menginginkan sesuatu. terlalu menginginkan sesuatu, tapi tidak berserah. entah karena ada yang tidak sesuai atau karena terlalu dikuasai oleh keinginan. keadaan ini sukar dipahami kalau saya sedang dikuasai ego. tapi, lama-lama buat saya kebahagiaan itu semu kalau cuma saya yang merasakan. kebahagiaan itu ada ketika saya bisa membagi dengan orang lain tentang apa yang saya rasakan. entah itu tawa atau air mata. kebahagiaan itu tidak mengenal "tapi". jangan tanya saya kenapa manusia diberi keistimewaan untuk bisa menginginkan sesuatu. saya percaya semua yang ada di dunia ini akan berimbang bila kita dikoordinat "zero", ditengah2 diantara semua kutubnya. saya selalu berusaha ingat hal ini. saya akan selalu berusaha ada di titik zero ini. kadang terasa kosong atau malah penuh, tapi dua-duanya terasa damai. saya pernah merasakan baik/buruk, senang/sedih itu sama saja, saya tak akan berusaha mengeliminir salah satunya, dan disitulah saya merasa benar-benar manusia yang hidup di dunia.

*yang paling penting, semoga saya selalu ingat seperti apa mengalami yang tulis sekarang. karena saya bisa lupa rasanya dan lupa bagaimana penjelasan semua ini menjadi masuk akal*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

It's been like 2 years?

I just finished skimming my post up to end 2012. Before getting married, and after marriage life up to last post before this. I didn't realized my post before marriage are mostly stories about a girl who tried so hard to get out of her miserable life with dark clouds inside her head facing her series of unfortunate events (I intended this blog to chute out those unnecessary garbage). After the wedding, honeymoon phase. Mmm, it was that fun, though. But, since I know this blog has other reader I tried to cover my bad stories. Wasn't like how I intended this blog to. After baby and few jobs, well, my life is actually getting better but still focus on my miserable life! (and list of hopes too) Last one, I wrote so many "haha" after a sentence that I think awkward, which now I find it annoying. Ha! (not haha)  I thought I was a positive person. But, it seems just to cover things up.  Even "let's giggle" this blog tagline is a survival, convincing my life

grown up

Maybe someday, you will learn, you will understand, you will accept everything, and eventually you will grown up. But never in my time, never in my space and time dimension. Maybe you'll always be a kid for me. dan saya dulu terus-menerus menilai anda terlalu tinggi.

sad part of a happy thought

Ada sisi yang bisa membuat saya merasa sedih dari hal yang menyenangkan. Kangen dengan seseorang itu membahagiakan, sesuatu yang patut disyukuri. Kadang, saya bilang "pengen bareng", atau "pengen ada di sana", atau semacamnya. Tapi, lama-lama saya malah jadi sedih karena saya tahu saya gak bisa melakukannya. Saya (jauh) lebih banyak mengucapkannya ketimbang melakukannya. Beberapa kali saya urung mengatakannya. Jadi, saya simpan dalam hati saja. Rasanya omong doang. Dalam setahun saja, mungkin saya 'hanya' 5 kali bertemu dengannya. Pertemuan 1-2 hari menjadi sangat berharga. Hal ini sedikit membuat gusar, kadang. Tapi, harus bagaimana? Harusnya saya bisa lebih ikhlas untuk lebih banyak hal ya? Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT