Sewaktu teman saya cerita masalahnya ini, saya pikir itu masalahnya semacam “gangguan menjelang pernikahan dan pada akhirnya semua akan baik-baik saja”. Ternyata tidak.
Janji itu batal.
Pernikahan itu batal.
Gila.
13 hari sebelum tanggal pernikahannya. Undangan sudah disebar, gedung, baju pengantin, catering, make up artist, baju pagar ayu-pagar bagus, souvenir, dan beribu perintilan lainnya sudah siap. Saya sebenarnya tidak bisa mengingat setiap detail cerita yang pernah saya dengar. Lupa-lupa ingat sekaligus takut ceritanya lain. Ujung-ujungnya nambah bumbu sendiri biar makin asoy. Sebagian teman saya justru berkomentar yang mirip-mirip seperti ini: “ah kalo di indonesia repot ya keluarga, yang nikah kan mereka berdua”. Pernyataan itu tidak akan saya tampik. Tapi, sedikit saja melihat dari atas, dari sudut pandang sedikit lebih luas:
Pernikahan itu menyambung silaturahmi
Menyatukan dua keluarga
And in marriage, it’s clear that there are bigger things than just two person in love. No matter what your society’s values and culture. Karena banyak cerita kalau gak harmonis hubungan kedua keluarganya, bisa kebawa gak harmonis sampai cucu cicit segala. Mungkin itu kenapa menikah itu “berkeluarga”, apa artinya berkeluarga tanpa silaturahmi? Yaa tentunya itu lagi-lagi latihan pendewasaan untuk semua pihak, yang akan menikah, dan semua anggota keluarga, termasuk para tetua yang mungkin lebih bijak dari kita yang muda.
Ada ibu-ibu di kantor saya bilang, “kalau seorang ibu menilai pacar anak perempuannya (cowok) itu bisa salah, tapi kalau menilai pacar anak laki-lakinya (cewek) itu bisa jadi benar. Itu juga berlaku kalau seorang ayah menilai pacar anak laki-lakinya (cewek) bisa jadi salah, tapi kalau menilai pacar anak perempuannya (cowok) bisa jadi benar”. Mungkin ada benernya, mungkin.
Saya bukan kebelet menikah sekarang, tapi lewat teman saya yang luar biasa hebat ini saya belajar banyak. Saya belajar banyak. Saya belajar banyak. Setidaknya saya jadi tahu satu lagi kriteria mencari suami: “semoga berasal dari keluarga yang baik dan keluarga saya dan keluarga calon suami bisa melebur dengan baik. Tentunya dengan semua perbedaan dan persamaan yang ada”. Saya ini anak perempuan pertama, yaa saya ingin nikah dengan restu ayah ibu saya DAN (minimal) dengan restu calon mertua saya nantinya. Saya kepingin rasanya manggil ayah ibu calon suami saya seperti manggil kedua orang tua saya (tanpa mengurangi hormat ke ortu saya lho ya). Sekarang, saya hidup dengan identitas saya: asal saya, budaya, agama, keluarga saya, dan nama belakang ayah saya, dan nantinya nama belakang suami saya.
Janji itu batal.
Pernikahan itu batal.
Gila.
13 hari sebelum tanggal pernikahannya. Undangan sudah disebar, gedung, baju pengantin, catering, make up artist, baju pagar ayu-pagar bagus, souvenir, dan beribu perintilan lainnya sudah siap. Saya sebenarnya tidak bisa mengingat setiap detail cerita yang pernah saya dengar. Lupa-lupa ingat sekaligus takut ceritanya lain. Ujung-ujungnya nambah bumbu sendiri biar makin asoy. Sebagian teman saya justru berkomentar yang mirip-mirip seperti ini: “ah kalo di indonesia repot ya keluarga, yang nikah kan mereka berdua”. Pernyataan itu tidak akan saya tampik. Tapi, sedikit saja melihat dari atas, dari sudut pandang sedikit lebih luas:
Pernikahan itu menyambung silaturahmi
Menyatukan dua keluarga
And in marriage, it’s clear that there are bigger things than just two person in love. No matter what your society’s values and culture. Karena banyak cerita kalau gak harmonis hubungan kedua keluarganya, bisa kebawa gak harmonis sampai cucu cicit segala. Mungkin itu kenapa menikah itu “berkeluarga”, apa artinya berkeluarga tanpa silaturahmi? Yaa tentunya itu lagi-lagi latihan pendewasaan untuk semua pihak, yang akan menikah, dan semua anggota keluarga, termasuk para tetua yang mungkin lebih bijak dari kita yang muda.
Ada ibu-ibu di kantor saya bilang, “kalau seorang ibu menilai pacar anak perempuannya (cowok) itu bisa salah, tapi kalau menilai pacar anak laki-lakinya (cewek) itu bisa jadi benar. Itu juga berlaku kalau seorang ayah menilai pacar anak laki-lakinya (cewek) bisa jadi salah, tapi kalau menilai pacar anak perempuannya (cowok) bisa jadi benar”. Mungkin ada benernya, mungkin.
Saya bukan kebelet menikah sekarang, tapi lewat teman saya yang luar biasa hebat ini saya belajar banyak. Saya belajar banyak. Saya belajar banyak. Setidaknya saya jadi tahu satu lagi kriteria mencari suami: “semoga berasal dari keluarga yang baik dan keluarga saya dan keluarga calon suami bisa melebur dengan baik. Tentunya dengan semua perbedaan dan persamaan yang ada”. Saya ini anak perempuan pertama, yaa saya ingin nikah dengan restu ayah ibu saya DAN (minimal) dengan restu calon mertua saya nantinya. Saya kepingin rasanya manggil ayah ibu calon suami saya seperti manggil kedua orang tua saya (tanpa mengurangi hormat ke ortu saya lho ya). Sekarang, saya hidup dengan identitas saya: asal saya, budaya, agama, keluarga saya, dan nama belakang ayah saya, dan nantinya nama belakang suami saya.
Komentar
Posting Komentar